Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

eSport, Dunia Baru Anak Dalam Bingkai Kacamata Orang Tua


 
eSport, Dunia Baru Anak Dalam Bingkai Kacamata Orang Tua - Dunia semakin cepat berubah, perubahan zaman selalu berganti seiring waktu berjalan. Smartphone yang dulunya hanya kebutuhan tersier yang dimiliki oleh segelintir orang, menjelma menjadi benda wajib kemanapun setiap individu berada. Bahkan Interneti bukan menjadi barang mewah lagi karena semua orang sekarang bisa bebas mengaksesnya.

Berkat keberadaan smartphone pula, bermain game kini menjadi semakin mudah. Anda tidak perlu lagi harus memiliki konsol seharga jutaan atau PC gaming senilai belasan atau bahkan puluhan juta untuk bisa bermain game. Dengan smartphone berharga Rp1-2 juta pun, Anda sudah bisa menggunakannya untuk bermain game. 

Tak hanya itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Rendahnya entry barrier ini membuat semakin banyak anak dan remaja yang hobi bermain game. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Toh, riset membuktikan bahwa game juga punya dampak positif.

Sekarang, orang tua juga sebaiknya tidak sepenuhnya melarang anak bermain game. Pasalnya, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Menurut laporan Accenture, 84% gamers menjadikan game sebagai alat untuk bersosialisasi. 

Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa main bareng alias mabar bisa membuat hubungan pertemanan menjadi semakin erat. Jadi, melarang anak untuk bermain game saat ini sama seperti melarang anak keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya dulu.

Lalu, apa yang harus orang tua lakukan agar hobi bermain game sang buah hati bisa tersalurkan dengan baik?

1. Membantu Anak Mengatur Waktu Bermain

Ketika mendapati anaknya senang bermain game, orang tua biasanya khawatir sang anak akan menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game dan menjadi malas belajar. Walaupun pernyataan ini tidak benar 100%.

Yang bikin anak malas belajar bukan game, tapi sistem belajar yang membosankan dan materi yang disajikan dengan cara yang kaku dan tidak menarik minat belajar murid. Sebenarnya, game itu banyak positifnya kok, seperti mengajar cara berpikir strategis, menggunakan logika, mengidentifikasi masalah, problem solving, dan lain sebagainya.

Tapi memang bergantung bagaimana kita menyikapinya.


2. Mengatur Uang yang Dihabiskan Anak Dalam Game

Pernahkah Anda melihat video viral tentang seorang bapak-bapak tengah memarahi kasir Indomaret karena membiarkan anaknya menghabiskan Rp800 ribu untuk topup game?

Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Tanah Air tercinta, tapi juga di negara-negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat. Kepada Channel News Asia, seorang gamer muda asal Singapura — yang tidak mau disebutkan namanya — mengaku bahwa dia pernah menghabiskan  uang orang tuanya sebesar SGD20 ribu (sekitar Rp209 juta) membeli lootbox dalam game. Dia bahkan sempat mencuri demi menutup utang akibat kecanduannya dalam membeli lootbox

Sayangnya, Indonesia tidak punya regulasi khusus terkait game gacha atau lootbox. Karena itulah, peran orang tua dalam memastikan anak tidak menghambur-hamburkan uang di game justru menjadi semakin penting. Untuk itu, orang tua harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Langkah pertama yang bisa orang tua lakukan adalah mencari tahun mengapa sang anak senang untuk bermain game yang sedang dia mainkan. Dari sana, orang tua bisa membuka diskusi tentang berapa banyak uang yang boleh anak habiskan untuk bermain game. Orang tua juga bisa menjadikan game sebagai insentif agar anak mau lebih serius di sekolah. Ketika saya masih duduk di bangku SD dan SMP, orang tua saya sering berjanji untuk membelikan game/konsol baru jika saya berhasil masuk dalam peringkat tiga besar di kelas.

3. Andai Menjadi Orang Tua dari Gamers Profesional

Pesatnya perkembangan industri game memunculkan industri yang sama sekali baru, yaitu esports. Sekarang, esports tidak hanya menjadi semakin populer di kalangan generasi muda, tapi juga diakui oleh pemerintah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak generasi muda yang bercita-cita untuk menjadi pemain esports. 

Menjadi pemain profesional bukanlah hal mudah. Kemungkinan seseorang bisa berhasil sebagai gamer profesional di Indonesia kurang dari 1 satu persen. Karena itu, orang tua harus paham kapan mereka harus mendukung cita-cita anak untuk menjadi pemain esports.

Memang jadi pro player itu tidak mudah dan butuh kerja keras, kita sebagai orang tua juga dituntut untuk mengerti kondisi anak kita: apakah dia memang berbakat untuk menjadi pro player atau sekedar hobi saja. Nah, untuk tahu tentang hal itu, kita bisa membiarkan mereka bermain di komunitas. 

Setiap game yang anak geluti pasti punya komunitas masing-masing. Biarkan anak bermain di komunitas sambil diawasi. Kalau menurut orang tua anaknya memang jago dan ada tawaran untuk masuk klub esports, sudah waktunya orang tua mendukung.


Manfaat Tak Terbatas Internetnya Indonesia

Disamping perkembangan industri eSport, perkembangan internet di Indonesia juga tak kalah masifnya, termasuk IndiHome salah satunya.  Pengalaman terbaik bagi pelanggan menjadi fokus utama TelkomGroup dalam menghadirkan berbagai produk dan layanannya. Pada bisnis fixed broadband, Telkom melalui brand IndiHome secara kontinyu terus melakukan improvisasi dan inovasi demi memastikan kenyamanan dan pengalaman pelanggan dalam menikmati layanan dapat terus terjaga dengan baik. Komitmen IndiHome ini akhirnya berbuah manis.

IndiHome meraih tiga penghargaan prestisius di bidang customer service dalam ajang internasional, The Stevie Award 2022 yang diselenggarakan April lalu. IndiHome meraih penghargaan Stevie Winner for the Customer Service Department of the Year kategori Telecommunication, Stevie Winner for Customer Service Team of the Year - Recovery Situation kategori Technology Industries, dan Crystal People’s Choice Stevie Award for Favorite Customer Service - Telecommunication.


Kesimpulan

Manusia cenderung takut sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak mereka mengerti. Karena itu, ketika muncul inovasi baru, tidak semua orang akan langsung bersedia menggunakan inovasi tersebut. Terkadang, setelah inovasi baru diadaptasi sekalipun, masih ada kelompok yang takut akan dampak buruk dari inovasi tersebut. Waspada akan dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh inovasi baru  — baik internet, smartphone, atau game — sebenarnya bukan hal yang buruk. Segala sesuatu di dunia memang biasanya punya dampak positif dan negatif. Namun, hal itu bukan berarti kita bisa berlarut-larut dalam rasa takut dan terus kukuh berpegang pada pola pikir lama tanpa berusaha untuk mengubahnya.

Begitu juga dengan dunia eSport maupun kemajuan internet. Walau dunia itu masih punya stigma buruk, khususnya di kalangan orang tua, tak bisa dipungkiri bahwa dunia baru itu kini tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tapi juga sebagai alat komunikasi. Tentu saja, orang tua punya hak untuk melarang anaknya menjelajahi dunia baru tersebut jika mereka memang tidak suka. Namun, ketika menjelajahi dunia baru itu juga menjadi wadah untuk mendekatkan diri dengan teman, apakah bijak jika orang tua melarang anak mengenal dunia baru sama sekali?

Post a Comment for " eSport, Dunia Baru Anak Dalam Bingkai Kacamata Orang Tua"